Kamis, 23 Agustus 2018

Cerita Malam Jumat #3

Kala itu mendung dan dingin ketika aku pulang sekolah. Seperti biasa aku  berjalan sendiri melintas menyusuri jalan setapak di 'hutan' itu.

Aku tak memikirkan apa-apa, hanya berjalan sambil kedua tanganku masuk kedalam saku. Kepalaku menunduk memperhatikan jalan setapak yang akan ku lewati. Lalu tiba-tiba....

Buuuuk... aku terhempas dan jatuh ke belakang

Badanku seperti menghantam sesuatu didepanku. Tapi aku tak luka sedikitpun karena benturan itu. Rasanya seperti bertumbukan dengan badan seseorang. Sambil terlentang di jalan setapak itu aku memperhatikan ke depan mencari alasan kenapa aku terhempas. Tidak ada apa-apa.

Ketika itu aku baru sadar, 'hutan' itu sedang hening. Jangankan kicau burung seperti  yang biasanya terdengar, suara gesekan dedaunan karena tertiup anginpun tak ada. Sepi sekali. Tapi perasaan aneh entah dari mana munculnya, aku merasa seperti sedang ada yang menatapku.

Aku berdiri bersamaan dengan bulu kudukku. Aku berlari sekencang-kencangnya kebelakang dengan jantung yang berdebar tak kalah kencang. Mulutku terkunci padahal ingin sekali aku berteriak minta tolong ketika itu.

Kamis, 16 Agustus 2018

Cerita Malam Jumat #2


Katak adalah hewan yang memendam kekecewaan mendalam. Mereka melahirkan anak, berharap yang lahir katak tapi yang muncul kecebong. Makanya katak tak pernah menjaga dan membesarkan kecebong. Kasian kecebong, tidak mengenal kasih sayang orang tua.

Aku masih ingat sempat memperhatikan kecebong-kecebong di selokan dekat SD ku itu. Selokan yang cukup dalam di bawah pohon beringin besar disebelah kuburan, di pinggir jalan raya.

Aku pulang sekolah ketika itu. Sendirian. Tanpa teman searah.

Kala itu tepat tengah hari, sejuk tidak panas. Aku pulang mendahului teman-temanku berkat kuis betul boleh pulang. Biasanya kalau ada kuis betul boleh pulang begitu aku tak langsung pulang. Kesukaanku menonton teman-temanku bengong-bengong tak bisa menjawab pertanyaan guru. Apa tak punyanya kalian hei teman-teman, bapak berkumis bapang yang memaksa-maksa kalian belajar tiap malam?

Aku waktu itu semangat pulang duluan karena aku diberikan ‘sesuatu’ oleh temanku. ‘Sesuatu’ yang tidak wajar dibawa-bawa anak kelas 3 SD masuk sekolah. Katanya benda itu dia dapat dirumahnya. Dia tak berani menyimpannya, takut ketauan emaknya. Maka diberikannyalah benda itu padaku. Aku simpan di kantong kecil tas ranselku.

Lepas dari memperhatikan kecebong di selokan itu, aku beranjak ke jalan raya. Aku pandang dari kejauhan nampak dua orang berlari ke arahku. Mereka berlari begitu kencang ditengah-tengah jalan raya yang lengang tanpa kendaraan. Dekat semakin dekat nampak bagiku semakin jelas kedua orang itu. Dua orang abang-abang, remaja sepertinya. Tapi yang satu sudah kumisan tipis. Bajunya abu-abu. Rambutnya belah tengah. Dan yang satu berbaju putih, lengan bajunya hitam.

Aku tak ada firasat apapun ketika mereka berlari menyongsong ke arahku. Aku pikir mereka akan lewat begitu saja. Persis ketika mereka tiba di sampingku, tiba-tiba saja mereka berhenti mendadak. Satu melompat ke depanku. Kira-kira satu meter. Aku kaget. Ia terlihat senang.

Aku kira mereka hanya mau mengajak bercanda. Mungkin abang-abang ini pemuda desa yang suka bercanda dengan anak SD. Tapi karena aku merasa tak kenal, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya. Aku bergeser ke sampingnya untuk lewat. Dia yang didepanku menghalangi ku lewat. Aku kesamping lagi, dia menutupi jalanku lagi.

“permisi bang aku mau lewat,” akhirnya aku bicara berharap si abang berhenti main-main.

“hayoo…. hayo hayooo,” dia cuma berkata begitu sambil tangannya membentang menutupi semua celah disampingnya agar aku tak lewat.

“hoe permisi aku mau lewat,” aku mulai takut. Kakiku sudah gemetar, mataku sudah berlinang.

Abang itu tetap saja hanya bicara hayo hayo hayo sambil menghalang-halangi aku yang mencoba ke kanan-kirinya berusaha lewat.

Aku menangis saking takutnya. Aku lalu mencoba berbalik badan saja, aku mau kabur saja ke arah belakang. Tapi ternyata abang-abang yang satu lagi dari tadi dibelakangku. Ia sekarang yang menghalangi aku kabur. Aku semakin ketakutan.

Mereka ternyata mulai mendekat, aku entah sudah berapa kali berputar mencoba mencari celah dimana bisa lepas dari kedua orang ini. Tapi tak bisa bisa-bisa.

Kendaraanpun tak ada yang lewat satupun saat itu. Sepi sekali. Hanya ada kami bertiga.

Tiba-tiba aku mengambil benda pemberian temanku dari kantong kecil tas ranselku. Sebuah pisau kecil yang bergagang warna merah. Bentuknya aneh, tapi mengkilat.

“Pergi kalian, kalo nggak pergi aku tusuk!” sambil menangis dan gemetar aku mencoba mengancam mereka.

Berhasil. Tanpa berkata kata mereka langsung lari pergi menjauh.

Aku menyeka air mata. Sedetik saja kurang lebih. Abang-abang yang tadi sudah hilang. Lenyap entah kemana.

Aku tak mengerti mengapa mereka bisa hilang begitu saja. Ketika itu aku masih ketakutan, sambil menangis sesengukan aku pulang ke rumah.

Ketika melewati ‘hutan’ pinggir desa itu, aku ingat jika aku masih membawa pisau dari temanku itu. Akan jadi masalah besar kalau ibuku sampai melihat aku punya pisau. Maka aku putuskan untuk menyembunyikan pisau itu dibawah sebuah pohon di ‘hutan’ itu. Pohon itu aku tahu sekali. Tak akan ada orang yang lewat kesana. Aman pasti buatku menyimpan sesuatu disana.

Sore hari itu, setelah tidur siang aku mencoba mengambil pisau itu ke bawah pohon tempat aku menyimpannya. Aku penasaran ingin memperhatikannya. Namun ketika aku sampai pisau itu sudah hilang. Aku mencoba-coba mencarinya tapi tak ketemu. Aku pikir mungkin ada orang yang menemukannya, atau mungkin aku salah menyimpannya. Aku pulang kerumah dengan entahlah.

Malam harinya aku mendadak sakit. Badanku demam tinggi. Dalam mimpi aku melihat kembali dua abang-abang yang mencegatku tadi siang. Aku juga melihat pisau pemberian temanku itu di mimpi. Besar, membesar, besar sekali melayang-layang.



[bersambung]



Kamis, 09 Agustus 2018

Cerita Malam Jumat #1


Namaku Agus, cita-citaku nikah muda. Tapi aku sudah tua.

Malam ini aku ingin memulai bercerita sesuatu yang terjadi di masa kecilku. Aku belum pernah menceritakan ini kepada siapapun sebelumnya.

Ketika kecil, sekolah dasar, aku selalu pulang jalan kaki sendirian. Bukan karena aku tak punya teman, tapi karena diantara semua penghuni sekolah (murid dan guru) aku satu-satunya yang arah rumahnya ke utara. Sisanya ke selatan semua.

Dari sekolah ke rumah tidaklah dekat, bisa dibilang memutari setengah pinggiran desaku. Jalannya bukanlah jalanan umum, ada bagian dimana jalan setapak ditengah-tengah pohon-pohon besar nan rimbun. Mirip hutan, tapi bukan. Karena terletak di pinggiran desa, daerah ini sepi sekali. Sampai suatu saat aku tahu, tempat itu ternyata ‘ramai’.


[bersambung]