Katak adalah hewan
yang memendam kekecewaan mendalam. Mereka melahirkan anak, berharap yang lahir
katak tapi yang muncul kecebong. Makanya katak tak pernah menjaga dan
membesarkan kecebong. Kasian kecebong, tidak mengenal kasih sayang orang tua.
Aku masih ingat sempat
memperhatikan kecebong-kecebong di selokan dekat SD ku itu. Selokan yang cukup
dalam di bawah pohon beringin besar disebelah kuburan, di pinggir jalan raya.
Aku pulang sekolah
ketika itu. Sendirian. Tanpa teman searah.
Kala itu tepat tengah
hari, sejuk tidak panas. Aku pulang mendahului teman-temanku berkat kuis betul
boleh pulang. Biasanya kalau ada kuis betul boleh pulang begitu aku tak
langsung pulang. Kesukaanku menonton teman-temanku bengong-bengong tak bisa
menjawab pertanyaan guru. Apa tak punyanya kalian hei teman-teman, bapak
berkumis bapang yang memaksa-maksa kalian belajar tiap malam?
Aku waktu itu semangat
pulang duluan karena aku diberikan ‘sesuatu’ oleh temanku. ‘Sesuatu’ yang tidak
wajar dibawa-bawa anak kelas 3 SD masuk sekolah. Katanya benda itu dia dapat
dirumahnya. Dia tak berani menyimpannya, takut ketauan emaknya. Maka
diberikannyalah benda itu padaku. Aku simpan di kantong kecil tas ranselku.
Lepas dari
memperhatikan kecebong di selokan itu, aku beranjak ke jalan raya. Aku pandang
dari kejauhan nampak dua orang berlari ke arahku. Mereka berlari begitu kencang
ditengah-tengah jalan raya yang lengang tanpa kendaraan. Dekat semakin dekat
nampak bagiku semakin jelas kedua orang itu. Dua orang abang-abang, remaja
sepertinya. Tapi yang satu sudah kumisan tipis. Bajunya abu-abu. Rambutnya
belah tengah. Dan yang satu berbaju putih, lengan bajunya hitam.
Aku tak ada firasat
apapun ketika mereka berlari menyongsong ke arahku. Aku pikir mereka akan lewat
begitu saja. Persis ketika mereka tiba di sampingku, tiba-tiba saja mereka
berhenti mendadak. Satu melompat ke depanku. Kira-kira satu meter. Aku kaget. Ia
terlihat senang.
Aku kira mereka hanya
mau mengajak bercanda. Mungkin abang-abang ini pemuda desa yang suka bercanda
dengan anak SD. Tapi karena aku merasa tak kenal, aku mencoba untuk tidak
menghiraukannya. Aku bergeser ke sampingnya untuk lewat. Dia yang didepanku
menghalangi ku lewat. Aku kesamping lagi, dia menutupi jalanku lagi.
“permisi bang aku mau
lewat,” akhirnya aku bicara berharap si abang berhenti main-main.
“hayoo…. hayo hayooo,”
dia cuma berkata begitu sambil tangannya membentang menutupi semua celah
disampingnya agar aku tak lewat.
“hoe permisi aku mau
lewat,” aku mulai takut. Kakiku sudah gemetar, mataku sudah berlinang.
Abang itu tetap saja
hanya bicara hayo hayo hayo sambil menghalang-halangi aku yang mencoba ke
kanan-kirinya berusaha lewat.
Aku menangis saking
takutnya. Aku lalu mencoba berbalik badan saja, aku mau kabur saja ke arah belakang.
Tapi ternyata abang-abang yang satu lagi dari tadi dibelakangku. Ia sekarang
yang menghalangi aku kabur. Aku semakin ketakutan.
Mereka ternyata mulai
mendekat, aku entah sudah berapa kali berputar mencoba mencari celah dimana
bisa lepas dari kedua orang ini. Tapi tak bisa bisa-bisa.
Kendaraanpun tak ada
yang lewat satupun saat itu. Sepi sekali. Hanya ada kami bertiga.
Tiba-tiba aku
mengambil benda pemberian temanku dari kantong kecil tas ranselku. Sebuah pisau kecil
yang bergagang warna merah. Bentuknya aneh, tapi mengkilat.
“Pergi kalian, kalo
nggak pergi aku tusuk!” sambil menangis dan gemetar aku mencoba mengancam
mereka.
Berhasil. Tanpa berkata
kata mereka langsung lari pergi menjauh.
Aku menyeka air mata.
Sedetik saja kurang lebih. Abang-abang yang tadi sudah hilang. Lenyap entah
kemana.
Aku tak mengerti
mengapa mereka bisa hilang begitu saja. Ketika itu aku masih ketakutan, sambil
menangis sesengukan aku pulang ke rumah.
Ketika melewati ‘hutan’
pinggir desa itu, aku ingat jika aku masih membawa pisau dari temanku itu. Akan
jadi masalah besar kalau ibuku sampai melihat aku punya pisau. Maka aku
putuskan untuk menyembunyikan pisau itu dibawah sebuah pohon di ‘hutan’ itu.
Pohon itu aku tahu sekali. Tak akan ada orang yang lewat kesana. Aman pasti
buatku menyimpan sesuatu disana.
Sore hari itu, setelah
tidur siang aku mencoba mengambil pisau itu ke bawah pohon tempat aku
menyimpannya. Aku penasaran ingin memperhatikannya. Namun ketika aku sampai
pisau itu sudah hilang. Aku mencoba-coba mencarinya tapi tak ketemu. Aku pikir
mungkin ada orang yang menemukannya, atau mungkin aku salah menyimpannya. Aku
pulang kerumah dengan entahlah.
Malam harinya aku
mendadak sakit. Badanku demam tinggi. Dalam mimpi aku melihat kembali dua
abang-abang yang mencegatku tadi siang. Aku juga melihat pisau pemberian
temanku itu di mimpi. Besar, membesar, besar sekali melayang-layang.
[bersambung]
[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar