Senin, 07 April 2014

Malabar



“Kereta Api Malabar jurusan Bandung-Malang terguling di kawasan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (4/4/2014) malam sekitar pukul 19.00 WIB. Kereta tersebut menabrak reruntuhan longsoran tanah sebuah bukit yang menutup lintasan rel kereta.”(www.kompas.com)

Berita duka itu aku simak beberapa hari belakangan ini. Ada perasaan sentimental yang kuat menyimak berita tersebut, pasalnya aku dan Malabar memiliki cerita khusus kurang lebih setahun yang lalu, Februari 2013.

Waktu itu aku dan dua orang teman kuliahku, Bagus dan Oming, sedang jalan-jalan di Jawa. Kami pada saat  itu adalah mahasiswa semester akhir dikampus yang sedang penat menghadapi skripsi. Untuk menyegarkan pikiran, kamipun sepakat untuk jalan-jalan di Jawa. Sebuah petualangan bagi kami, karena kami awam dengan daerah Jawa (kecuali Bagus yang besar di Bandung, tapi untuk berjalan-jalan di daerah-daerah di Jawa ia juga tergolong awam). Tiga kota kami sepakati untuk sambangi yaitu Surabaya, Jogja, dan Bandung. Kami merencanakan petualangan tersebut se-apik mungkin, untuk bagian transportasi dari kota-ke kota kami menggunakan dua sarana. Pertama, berangkat dan kembali ke Bali kami menggunakan pesawat terbang. Lalu, untuk menghubungkan kami dari Surabaya ke Jogja kemudian ke Bandung kami menggunakan kereta api.

Perjalanan kereta api pertamaku adalah dari Surabaya ke Jogja dalam petualanganku bersama Bagus dan Oming. Aku lupa dengan kereta apa, yang kuingat ketika itu adalah aku menghabiskan sebagian besar perjalanan dengan mengobrol. Aku lupa momen bersama kereta itu karena tidak terlalu berkesan.

Bersama Kereta Malabar aku meneruskan perjalanan dari Jogja ke Bandung. Dan, yang ini akan selalu ada dalam kenanganku.

Drama dimulai ketika dalam perjalanan aku sakit. Waktu itu posisi kami di Jogja, hari terakhir. Badanku tiba-tiba panas tinggi pagi hari itu, mungkin aku yang cukup letih tidak kuat diterpa hujan gerimis dan angin Jogja. Perasaan bahagiaku akan pertualangan tersebut tidak cukup mampu menyelamatkanku dari penurunan kondisi. Aku sakit dan tepar, Bagus dan Oming kesusahan. Perjalanan kami belum selesai waktu itu, dan kami tidak mungkin balik ke Bali saat itu juga. Teman-temanku ini menjagaku dengan telatennya, membawakan barang-barangku, membelikanku makanan dan obat. Ketika malam itu kami di stasiun untuk melanjutkan ke Bandung, aku di tidurkan oleh mereka di bangku ruang tunggu, sementara mereka duduk di lantai di dekatku, karena bangku ruang tunggu yang lain penuh diisi calon penumpang.

Malam itu, tepat tengah malam, kereta yang akan kami tumpangi datang. Kereta itu bernama Malabar.

Aku masuk Malabar sambil terhuyung-huyung. Di dalam gerbong tidak terlalu penuh. Kami yang memegang tiga karcis tempat duduk mendapatkan keuntungan. Dari tiga karcis kami, dua kursi berada satu deret, dan satu kursi lagi di depannya. Kursi kami yang didepan ternyata disebelahnya kosong, sehingga kami bebas memanfaatkannya. Iya, tentu saja kursi tersebut diserahkan padaku oleh teman-temanku ini, alasannya agar aku bisa tidur terlentang di dua kursi tersebut, sementara Bagus dan Oming di belakang menjagaku.

Ketika Malabar mulai meninggalkan stasiun, aku tertidur.

Jogja ke Bandung adalah tentang 6 jam perjalanan ketika itu.

Aku yang ketika berangkat tertidur, beberapa jam setelahnya terbangun. Malabar masih melaju menyusuri rel-nya. Kepalaku pusing ketika terbangung, badan masih terasa panas, lidah dan tenggorokan masih tidak enak, tapi mungkin efek obat sudah bekerja, aku merasa sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Aku kemudian sudah bisa duduk, dan memperhatikan suasana.

Aku menengok sekitar, hanya seorang orang gadis manis di gerbong itu yang masih terjaga. Ia membaca buku sambil mendengarkan musik, sementara penumpang yang lain tertidur.

Sunyi, dengan latarbelakang hanya suara Malabar yang melaju.

Aku meneguk air mineral.

Kesunyian menyadarkanku, aku dan kereta adalah dua hal yang baru berkenalan. Lahir dan tumbuh besar di Bali yang tidak memiliki kereta, membuat kereta bagiku sangatlah istimewa. Aku kemudian juga menyadari ada perasaan senang dalam hatiku, akhirnya aku tahu juga yang namanya naik kereta. Sebelumnya, kereta adalah khayalan bagiku karena aku hanya bisa melihatnya di televisi ataupun gambar. Aku kemudian membandingkan macam-macam sarana transportasi yang pernah aku naiki. Dan aku langsung menyimpulkan, kereta adalah favoritku. Motor, mobil, bis terlalu biasa bagiku. Kapal laut terlalu bergelombang. Pesawat terbang mengusik bathinku, karena ketika menaikinya aku merasa pesawat pasti miring, terangkat bagian depannya. Meskipun kadang terasa cukup miring, kadang hanya sangat sedikit sekali terasa kemiringannya. Ini sifatnya subjektif, menaiki sesuatu yang miring-miring begitu aku suka geli-geli sendiri.

Memandang keluar jendela kereta seperti menonton film, gambarnya terus berubah-ubah menyajikan pemandangan-pemandangan. Pemandangan indah maupun biasa saja, bagiku pemandangan yang dipandang dari dalam kereta adalah pemandangan yang sangat menarik, berkesan.

Sejenak aku tenggelam dalam pikiranku, lalu kemudian badanku mengingatkan kembali kalau aku sakit.

Aku menelengos membulatkan diri di kursi Malabar, aku intip dua temanku dibelakang. Mereka tertidur pulas. Mereka pasti sangat capek. Aku menebak-nebak, entah apa yang mereka rasakan saat ini. Perjalanan mereka yang seharusnya menyenangkan malah harus kerepotan mengurusiku. Aku tentu tak berencana untuk sakit, tapi seandainya aku lebih baik dalam menjaga diriku tentu kawan-kawanku ini tidak akan kebagian repot. Aku sungguh tidak enak hati dengan mereka.

Aku meneguk lagi air mineralku.

Disana didalam gerbong Malabar, aku menatap kedua wajah polos teman-temanku yang tertidur. Entah apa yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikan hati teman-temanku ini. Aku tersadar betapa beruntungnya aku mengenal dua orang ini.

Aku meneguk air mineralku untuk terakhir kali.

Aku tak lagi melihat kedua temanku yang tertidur, mataku menatap kosong ke kursi depan. Piikiranku menerawang entah kemana. Badanku mengingatkan lagi kondisinya belum baik. Kemudian aku pejamkan mata, membiarkan Malabar membawaku menuju Bandung.