“Kereta Api Malabar jurusan Bandung-Malang
terguling di kawasan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jumat (4/4/2014) malam
sekitar pukul 19.00 WIB. Kereta tersebut menabrak reruntuhan longsoran tanah
sebuah bukit yang menutup lintasan rel kereta.” – (www.kompas.com)
Berita duka itu aku simak beberapa hari belakangan ini. Ada
perasaan sentimental yang kuat menyimak berita tersebut, pasalnya aku dan
Malabar memiliki cerita khusus kurang lebih setahun yang lalu, Februari 2013.
Waktu itu aku dan dua orang teman kuliahku, Bagus dan Oming,
sedang jalan-jalan di Jawa. Kami pada saat
itu adalah mahasiswa semester akhir dikampus yang sedang penat
menghadapi skripsi. Untuk menyegarkan pikiran, kamipun sepakat untuk
jalan-jalan di Jawa. Sebuah petualangan bagi kami, karena kami awam dengan
daerah Jawa (kecuali Bagus yang besar di Bandung, tapi untuk berjalan-jalan di
daerah-daerah di Jawa ia juga tergolong awam). Tiga kota kami sepakati untuk
sambangi yaitu Surabaya, Jogja, dan Bandung. Kami merencanakan petualangan
tersebut se-apik mungkin, untuk bagian transportasi dari kota-ke kota kami
menggunakan dua sarana. Pertama, berangkat dan kembali ke Bali kami menggunakan
pesawat terbang. Lalu, untuk menghubungkan kami dari Surabaya ke Jogja kemudian
ke Bandung kami menggunakan kereta api.
Perjalanan kereta api pertamaku adalah dari Surabaya ke
Jogja dalam petualanganku bersama Bagus dan Oming. Aku lupa dengan kereta apa,
yang kuingat ketika itu adalah aku menghabiskan sebagian besar perjalanan
dengan mengobrol. Aku lupa momen bersama kereta itu karena tidak terlalu
berkesan.
Bersama Kereta Malabar aku meneruskan perjalanan dari Jogja
ke Bandung. Dan, yang ini akan selalu ada dalam kenanganku.
Drama dimulai ketika dalam perjalanan aku sakit. Waktu itu
posisi kami di Jogja, hari terakhir. Badanku tiba-tiba panas tinggi pagi hari
itu, mungkin aku yang cukup letih tidak kuat diterpa hujan gerimis dan angin Jogja.
Perasaan bahagiaku akan pertualangan tersebut tidak cukup mampu menyelamatkanku
dari penurunan kondisi. Aku sakit dan tepar, Bagus dan Oming kesusahan.
Perjalanan kami belum selesai waktu itu, dan kami tidak mungkin balik ke Bali
saat itu juga. Teman-temanku ini menjagaku dengan telatennya, membawakan
barang-barangku, membelikanku makanan dan obat. Ketika malam itu kami di
stasiun untuk melanjutkan ke Bandung, aku di tidurkan oleh mereka di bangku
ruang tunggu, sementara mereka duduk di lantai di dekatku, karena bangku ruang
tunggu yang lain penuh diisi calon penumpang.
Malam itu, tepat tengah malam, kereta yang akan kami
tumpangi datang. Kereta itu bernama Malabar.
Aku masuk Malabar sambil terhuyung-huyung. Di dalam gerbong
tidak terlalu penuh. Kami yang memegang tiga karcis tempat duduk mendapatkan
keuntungan. Dari tiga karcis kami, dua kursi berada satu deret, dan satu kursi
lagi di depannya. Kursi kami yang didepan ternyata disebelahnya kosong,
sehingga kami bebas memanfaatkannya. Iya, tentu saja kursi tersebut diserahkan
padaku oleh teman-temanku ini, alasannya agar aku bisa tidur terlentang di dua
kursi tersebut, sementara Bagus dan Oming di belakang menjagaku.
Ketika Malabar mulai meninggalkan stasiun, aku tertidur.
Jogja ke Bandung adalah tentang 6 jam perjalanan ketika itu.
Aku yang ketika berangkat tertidur, beberapa jam setelahnya
terbangun. Malabar masih melaju menyusuri rel-nya. Kepalaku pusing ketika
terbangung, badan masih terasa panas, lidah dan tenggorokan masih tidak enak,
tapi mungkin efek obat sudah bekerja, aku merasa sedikit lebih baik daripada
sebelumnya. Aku kemudian sudah bisa duduk, dan memperhatikan suasana.
Aku menengok sekitar, hanya seorang orang gadis manis di
gerbong itu yang masih terjaga. Ia membaca buku sambil mendengarkan musik, sementara
penumpang yang lain tertidur.
Sunyi, dengan latarbelakang hanya suara Malabar yang melaju.
Aku meneguk air mineral.
Kesunyian menyadarkanku, aku dan kereta adalah dua hal yang
baru berkenalan. Lahir dan tumbuh besar di Bali yang tidak memiliki kereta,
membuat kereta bagiku sangatlah istimewa. Aku kemudian juga menyadari ada
perasaan senang dalam hatiku, akhirnya aku tahu juga yang namanya naik kereta. Sebelumnya,
kereta adalah khayalan bagiku karena aku hanya bisa melihatnya di televisi
ataupun gambar. Aku kemudian membandingkan macam-macam sarana transportasi yang
pernah aku naiki. Dan aku langsung menyimpulkan, kereta adalah favoritku. Motor,
mobil, bis terlalu biasa bagiku. Kapal laut terlalu bergelombang. Pesawat
terbang mengusik bathinku, karena ketika menaikinya aku merasa pesawat pasti
miring, terangkat bagian depannya. Meskipun kadang terasa cukup miring, kadang
hanya sangat sedikit sekali terasa kemiringannya. Ini sifatnya subjektif, menaiki
sesuatu yang miring-miring begitu aku suka geli-geli sendiri.
Memandang keluar jendela kereta seperti menonton film,
gambarnya terus berubah-ubah menyajikan pemandangan-pemandangan. Pemandangan
indah maupun biasa saja, bagiku pemandangan yang dipandang dari dalam kereta
adalah pemandangan yang sangat menarik, berkesan.
Sejenak aku tenggelam dalam pikiranku, lalu kemudian badanku
mengingatkan kembali kalau aku sakit.
Aku menelengos membulatkan diri di kursi Malabar, aku intip
dua temanku dibelakang. Mereka tertidur pulas. Mereka pasti sangat capek. Aku
menebak-nebak, entah apa yang mereka rasakan saat ini. Perjalanan mereka yang
seharusnya menyenangkan malah harus kerepotan mengurusiku. Aku tentu tak
berencana untuk sakit, tapi seandainya aku lebih baik dalam menjaga diriku
tentu kawan-kawanku ini tidak akan kebagian repot. Aku sungguh tidak enak hati
dengan mereka.
Aku meneguk lagi air mineralku.
Disana didalam gerbong Malabar, aku menatap kedua wajah
polos teman-temanku yang tertidur. Entah apa yang harus aku lakukan untuk
membalas kebaikan hati teman-temanku ini. Aku tersadar betapa beruntungnya aku
mengenal dua orang ini.
Aku meneguk air mineralku untuk terakhir kali.
Aku tak lagi melihat kedua temanku yang tertidur, mataku
menatap kosong ke kursi depan. Piikiranku menerawang entah kemana. Badanku
mengingatkan lagi kondisinya belum baik. Kemudian aku pejamkan mata, membiarkan
Malabar membawaku menuju Bandung.
Esensi nya adalah persahabatan. Disaat dalam kondisi terdesak, egoisme menuntut pribadi. Beruntung sekali bisa punya sahabat yang berhasil memerangi monster diri untuk sahabatnya yang sedang butuh pertolongan walau tidak dilafalkan. Semoga terus lanjut dengan mereka dan trip selanjutnya! Jangan lupa fisik harus selalu ready untuk perjalanan jauh :)
BalasHapushalo bang rumba... setuju sekali dengan kata-katanya... Mantap jos... matur nuhun :)
Hapus